HOMILI SRI PAUS FRANSISKUS SAAT MISA KANONISASI SANTO YOHANES XXIII DAN SANTO YOHANES PAULUS II tanggal 27 April 2014 di St Peter’s Square, VaticanBacaan Ekaristi dari Kisah Para Rasul 2:42-47; 1Petrus 1:3-9; Yohanes 20:19-31Minggu Kedua Paskah (Minggu Kerahiman Ilahi ), tanggal 27 April 2014
Acara Puncak hari
Minggu ini, yang mengakhiri Oktaf Paskah dan yang Yohanes Paulus II ingin dedikasikan bagi Kerahiman Ilahi, ialah bilur bilur Mulia dari Tuhan Yesus yang telah bangkit.
Tuhan sudah menunjukkan
bilur bilur tersebut ketika Ia pertama kali menampakkan diri kepada para Rasul
saat larut malam hari setelah Hari Sabbath
itu, hari kebangkitan. Namun Thomas
tidak berada di sana malam itu, dan ketika para rasul lain mengatakan kepadanya
bahwa mereka telah melihat Tuhan, ia menjawab bahwa jika ia sendiri tidak melihat
dan menyentuh bilur bilur itu, ia tidak akan percaya. Seminggu kemudian, Tuhan Yesus
menampakkan diri sekali lagi kepada para muridnya yang sedang berkumpul di
Ruang Atas,(Upper Room) dan Thomas hadir
saat itu ; Tuhan Yesus berpaling kepadanya dan menyuruhnya untuk menyentuh bilur
bilurNya. Kemudian pria itu, yang begitu terus terang (blak-blakan) dan terbiasa menguji segala sesuatunya secara
pribadi, berlutut di hadapan Tuhan Yesus seraya berkata : "Ya Tuhanku dan
Allahku!" (Yohanes 20:28).
Bilur bilur Tuhan Yesus merupakan suatu kehebohan, suatu batu sandungan bagi iman, akan tetapi mereka juga merupakan suatu ujian bagi iman. Itulah sebabnya di atas tubuh Kristus yang telah bangkit bilur bilur tersebut tak pernah hilang : tetap ada, karena bilur bilur tersebut merupakan tanda kasih Allah yang abadi bagi kita. Bilur bilur tersebut sangatlah penting untuk percaya pada Allah. Bukan hanya untuk percaya bahwa Allah itu ada, tetapi agar kita percaya bahwa Allah adalah kasih, kerahiman dan kesetiaan. Santo Petrus, mengutip Yesaya, saat menulis kepada para umat Kristiani : "oleh bilur-bilur-Nya kamu telah sembuh" (1 Petrus 2:24, cf Yes 53:5).Santo Yohanes XXIII dan Santo Yohanes Paulus II tidak takut memandang bilur bilur TuhanYesus, menyentuh tangan-Nya yang terkoyak maupun lambung-Nya yang tertikam. Mereka tidak malu akan tubuh Kristus, mereka tidak dibuat terkejut oleh-Nya, oleh salib-Nya; mereka tidak memandang rendah tubuh saudara mereka (bdk. Yes 58:7), karena mereka melihat Tuhan Yesus dalam setiap orang yang mengalami penderitaan dan perjuangan. Mereka inilah dua pria pemberani, yang dipenuhi dengan perkataan berani yang berasal dari Roh Kudus, dan mereka menjadi saksi di hadapan Gereja dan dunia bagi kebaikan dan kerahiman Allah.Mereka merupakan para imam,uskup dan Paus abad kedua puluh. Mereka hidup melewati berbagai peristiwa tragis pada abad itu, tetapi mereka tidak terpuruk dengan berbagai peristiwa tersebut. Bagi mereka, Allah lebih kuat; iman lebih kuat - iman kepada Tuhan Yesus Kristus Sang Penebus manusia dan Tuhan sejarah; kerahiman Allah, yang ditunjukkan oleh lima luka itu, lebih kuat; dan lebih kuat juga ialah kedekatan Maria Bunda kita.
Dalam kedua pria ini, yang memandang bilur bilur Kristus dan menjadi saksi kerahiman-Nya, di sana ada harapan yang hidup dan sukacita yang mulia dan yang tidak terkatakan (1Petrus 1:3,8). Harapan dan sukacita yang dilimpahkan Kristus yang telah bangkit kepada murid-murid-Nya, harapan dan sukacita yang tak ada sesuatu maupun seorang pun yang bisa mengambilnya dari mereka. Harapan dan sukacita Paskah, yang ditempa dalam bentuk penyangkalan diri, pengosongan diri, menitahkan pengenalan bersama para orang berdosa, bahkan hingga titik kemuakkan pada kepahitan cawan itu. Demikianlah harapan dan sukacita yang telah diterima Kedua Sri Paus Suci ini sebagai sebuah karunia Tuhan yang telah bangkit dan yang pada gilirannya mereka curahkan dalam kelimpahan atas Umat Allah, sehingga kita merasa pantas memiliki rasa syukur kita yang abadiHarapan dan sukacita ini dapat dirasakan dalam kalangan komunitaspara orang percaya mula mula , di Yerusalem, seperti yang kita baca dalam Kisah Para Rasul (bdk. 2:42-47). Ini merupakan suatu komunitas yang menghayati ajaran inti Injil, kasih dan kerahiman, dalam kesederhanaan serta persaudaraan.Hal ini juga merupakan gambaran Gereja yang ditetapkan Konsili Vatikan II sebelum kita. Santo Yohanes XXIII dan Santo Yohanes Paulus II telah bekerja sama dengan Roh Kudus dalam memperbaharui dan menyesuaikan Gereja sesuai karateristik aslinya, Karateristik itu yang telah diberikan para orang kudus kepada Gereja selama berabad-abad. Janganlah kita lupa bahwa para orang kudus tersebut yang memberikan arah dan pertumbuhan bagi Gereja. Dengan mengadakan Konsili, Santo Yohanes XXIII menunjukkan sebuah keterbukaan yang sangat indah terhadap Roh Kudus. Beliau membiarkan dirinya dipimpin dan beliau bagi Gereja merupakan seorang gembala, seorang pemimpin-pelayan. Hal Ini merupakan pelayanannya yang agung bagi Gereja; beliau ialah Paus yang terbuka dengan Roh Kudus.Dalam pelayanan dirinya bagi Umat Allah, Santo Yohanes Paulus II merupakan Paus keluarga. Beliau sendiri pernah mengatakan bahwa ia ingin dikenang sebagai Paus keluarga. Saya sangat senang menunjukkan hal ini ketika kita berada dalam proses perjalanan bersama keluarga-keluarga menuju Sinode tentang keluarga. Hal ini tentu sebuah perjalanan yang, dari tempatnya di surga, beliau membimbing dan menopang.Semoga kedua Santo baru dan para gembala umat Allah ini bersyafaat bagi Gereja, sehingga selama dua tahun perjalanan menuju Sinode ini Gereja boleh terbuka terhadap Roh Kudus dalam pelayanan pastoral kepada keluarga. Semoga kiranya keduanya mengajarkan kita agar tidak dihebohkan dengan bilur bilur Kristus dan malah membuat kita masuk semakin dalam pada misteri kerahiman ilahi, yang senantiasa berharap, dan senantiasa mengampuni, karena hal tersebut selalu mengasihiNone of us can think we are exempt from concern for the poor and for social justice (EG 201).
— Pope Francis (@Pontifex) April 26, 2014
HOLY MASS AND RITE OF CANONIZATION OF BLESSEDS JOHN XXIII ANDJOHN PAUL II
HOMILY OF POPE FRANCIS
St. Peter's Square
Book of Acts 2 : 42 – 47 , I Peter I : 3 – 9 , John 20 : 19 – 31
Second Sunday of Easter (Divine Mercy Sunday), 27 April 2014At the heart of this Sunday, which concludes the Octave of Easter and which John Paul II wished to dedicate to Divine Mercy, are the glorious wounds of the risen Jesus.
He had already shown those wounds when he first appeared to the Apostles on the very evening of that day following the Sabbath, the day of the resurrection. But Thomas was not there that evening, and when the others told him that they had seen the Lord, he replied that unless he himself saw and touched those wounds, he would not believe. A week later, Jesus appeared once more to the disciples gathered in the Upper Room, and Thomas was present; Jesus turned to him and told him to touch his wounds. Whereupon that man, so straightforward and accustomed to testing everything personally, knelt before Jesus with the words: “My Lord and my God!” (Jn 20:28).
The wounds of Jesus are a scandal, a stumbling block for faith, yet they are also the test of faith. That is why on the body of the risen Christ the wounds never pass away: they remain, for those wounds are the enduring sign of God’s love for us. They are essential for believing in God. Not for believing that God exists, but for believing that God is love, mercy and faithfulness. Saint Peter, quoting Isaiah, writes to Christians: “by his wounds you have been healed” (1 Pet 2:24, cf. Is 53:5).
John XXIII and John Paul II were not afraid to look upon the wounds of Jesus, to touch his torn hands and his pierced side. They were not ashamed of the flesh of Christ, they were not scandalized by him, by his cross; they did not despise the flesh of their brother (cf. Is 58:7), because they saw Jesus in every person who suffers and struggles. These were two men of courage, filled with the parrhesia of the Holy Spirit, and they bore witness before the Church and the world to God’s goodness and mercy.
They were priests, bishops and popes of the twentieth century. They lived through the tragic events of that century, but they were not overwhelmed by them. For them, God was more powerful; faith was more powerful – faith in Jesus Christ the Redeemer of man and the Lord of history; the mercy of God, shown by those five wounds, was more powerful; and more powerful too was the closeness of Mary our Mother.
In these two men, who looked upon the wounds of Christ and bore witness to his mercy, there dwelt a living hope and an indescribable and glorious joy (1 Pet 1:3,8). The hope and the joy which the risen Christ bestows on his disciples, the hope and the joy which nothing and no one can take from them. The hope and joy of Easter, forged in the crucible of self-denial, self-emptying, utter identification with sinners, even to the point of disgust at the bitterness of that chalice. Such were the hope and the joy which these two holy popes had received as a gift from the risen Lord and which they in turn bestowed in abundance upon the People of God, meriting our eternal gratitude.
This hope and this joy were palpable in the earliest community of believers, in Jerusalem, as we read in the Acts of the Apostles (cf. 2:42-47). It was a community which lived the heart of the Gospel, love and mercy, in simplicity and fraternity.
This is also the image of the Church which the Second Vatican Council set before us. John XXIII and John Paul II cooperated with the Holy Spirit in renewing and updating the Church in keeping with her pristine features, those features which the saints have given her throughout the centuries. Let us not forget that it is the saints who give direction and growth to the Church. In convening the Council, John XXIII showed an exquisite openness to the Holy Spirit. He let himself be led and he was for the Church a pastor, a servant-leader. This was his great service to the Church; he was the pope of openness to the Spirit.
In his own service to the People of God, John Paul II was the pope of the family. He himself once said that he wanted to be remembered as the pope of the family. I am particularly happy to point this out as we are in the process of journeying with families towards the Synod on the family. It is surely a journey which, from his place in heaven, he guides and sustains.
May these two new saints and shepherds of God’s people intercede for the Church, so that during this two-year journey toward the Synod she may be open to the Holy Spirit in pastoral service to the family. May both of them teach us not to be scandalized by the wounds of Christ and to enter ever more deeply into the mystery of divine mercy, which always hopes and always forgives, because it always loves.
St John Paul II , <!--[if gte mso 9]>
"Eternal Father, I
offer to you the Body and Blood, Soul and Divinity of your beloved Son, our
Lord Jesus Christ, for our sins and those of the whole world; by the sufferings
of his Passion, have mercy upon us and upon the whole world" (Diary, 476).
Upon us and upon the whole world ... How greatly today’s world needs God’s
mercy! In every continent, from the depth of human suffering, a cry for mercy
seems to rise up. Where hatred and the thirst for revenge dominate, where war
brings suffering and death to the innocent, there the grace of mercy is needed
in order to settle human minds and hearts and to bring about peace. Wherever
respect for life and human dignity are lacking, there is need of God’s merciful
love, in whose light we see the inexpressible value of every human being. Mercy
is needed in order to ensure that every injustice in the world will come to an
end in the splendor of truth.
“`Bapa yang kekal,
kupersembahkan kepada-Mu Tubuh dan Darah, Jiwa dan Ke-Allah-an PutraMu yang
terkasih, Tuhan kami Yesus Kristus, sebagai pemulihan dosa-dosa kami dan dosa
seluruh dunia; demi sengsara Yesus yang pedih, tunjukkanlah belas kasih-Mu
kepada kami dan seluruh dunia' (Buku Catatan Harian, 476). Kepada kami dan
seluruh dunia…. Betapa dunia sekarang ini membutuhkan Kerahiman Ilahi! Di
setiap benua, dari penderitaan manusia yang terdalam, terdengar seruan mohon
belas kasih Allah. Di mana kebencian dan hasrat dendam berkuasa, di mana perang
mengakibatkan sengsara dan kematian orang-orang tak berdosa, di sana rahmat
belas kasih dibutuhkan demi menenangkan hati dan pikiran manusia serta
mendatangkan damai. Di mana tidak ada lagi rasa hormat terhadap harkat dan martabat
manusia, di sana cinta Allah yang berbelas kasih dibutuhkan; dalam terang-Nya
kita melihat nilai setiap pribadi manusia yang mudah terpengaruh. Belas kasih
dibutuhkan guna menjamin bahwa setiap ketidakadilan di dunia akan berakhir
dalam terang kebenaran.
Translated by James Rudyanto @translatorbali
This page is presented by Ms. Lenniwati J , a Catholic woman residing at BSD Banten
Canonization mass Highlight April 27 , 2014
http://balipromotioncenter.blogspot.com/2013/03/catholics-have-new-pope-266th-pontiff.html
Canonization mass Highlight April 27 , 2014
http://balipromotioncenter.blogspot.com/2013/03/catholics-have-new-pope-266th-pontiff.html
Vatican announces May 1 beatification for John Paul II
PAPAL MASS
ON THE OCCASION OF THE
BEATIFICATION OF THE SERVANT OF GOD JOHN PAUL II
ON THE OCCASION OF THE
BEATIFICATION OF THE SERVANT OF GOD JOHN PAUL II
No comments:
Post a Comment