Bali Promotion Center

Bali Promotion Center
Bali Promotion Center Media Promosi Online

December 22, 2016

Ahok Korban Kriminalisasi

Todung Mulya Lubis : Pernyataan Sikap Aliansi Masyarakat Sipil untuk Konstitusi (AMSIK) Menolak Pengadilan Massa karena Ahok Korban Kriminalisasi 

Setelah mencermati dua Persidangan terhadap Basuki Tjahaja Purnama (Ahok); menyimak materi dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dan Nota Keberatan (Eksepsi) yang dibacakan oleh Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan Penasehat Hukumnya, Selasa 13 Desember 2016 dan Tanggapan Jaksa terhadap Nota Keberatan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan Penasehat Hukumnya, Selasa 20 Desember 2016, kami ingin menegaskan kembali bahwa Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) adalah korban kriminalisasi karena telah terjadi pelanggaran terhadap “due process of law” dan hak asasi manusia (HAM), dan Pengadilan ini tidak lebih dari akibat tekanan massa, dengan alasan-alasan berikut: (1) Tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) berdasarkan pada Pendapat dan Sikap Keagamaan MUI tanggal 11 Oktober 2016. Padahal dalam sistem hukum dan perundangan-undangan di Indonesia tidak mengenal fatwa keagamaan MUI sebagai sumber hukum positif. Sebab landasan umum penyusunan perundang-undangan adalah (1) landasan Filosofis, Pancasila sebagai Filsafah Bangsa (filosofische grondslaag) (2) landasan Yuridis; UUD 1945, Ketetapan MPR, dan Undang-undang (3) landasan Politis, setiap Kebijaksanaan yang dianut Pemerintah di bidang Perundang-undangan. (2) Dalam konstitusi dan UUD di Indonesia, fatwa sebagai produk hukum yurisprudensi adalah kewenangan lembaga yudikatif, yaitu Mahkamah Agung dan lembaga-lembaga peradilan di bawahnya—bukan MUI—sebagaimana disebutkan dalam undang-undang no 4 tahun 2004 atau yang lebih tua lagi dalam Staatsblad 1847 no 23, pasal 22 AB (Algemene Bepalingen van wetgeving voor Indonesie—disingkat AB) dan dari sisi hukum pidana, khususnya pendekatan Doktrin maupun Yurisprudensi Pidana, disebutkan suatu pendapat keagamaan/fatwa keagamaan di luar lembaga yudikatif bersifat tidak mengikat sebagai kekuatan hukum (Peradilan Pidana). (3) Pendapat dan Sikap Keagamaan MUI bukan hukum positif, karena itu bersifat tidak mengikat dan tidak wajib diikuti. Hal ini berdasarkan pernyataan Otoritas Pemerintahan, Menteri Agama H. Lukman Hakim Saifudin “Fatwa MUI bersifat tidak mengikat bagi seluruh umat” (Kompas, 20 Desember 2016), Penegak Hukum, Kapolri Jend Tito Karnavian “Fatwa MUI Bukan Produk Hukum Seperti Undang-Undang” (CNN Indonesia, 21 Desember 2016), Tokoh Nadlatul Ulama, KH Mustofa Bisri “Fatwa dan Fatwa” (Jawa Pos, 19 Desember 2016) dan keterangan dari salah seorang Ketua MUI KH Yusnar Yusuf mengatakan siapapun boleh mengikuti atau tidak mengikuti fatwa yang dikeluarkan MUI, tanpa ada sanksi atau ancaman hukuman (kbr.id, 20 Desember 2016). (4) Karena fatwa MUI bukan sumber hukum positif dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat bahkan bagi umat Islam sendiri, sehingga tidak tepat dijadikan dasar dan acuan bagi Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam merumuskan dakwaannya. (5) Pendapat dan Sikap Keagamaan MUI tersebut lahir tanpa proses tabayyun (klarifikasi) dari Basuki Tjahaja Purnama yang semestinya dilakukan terlebih dahulu sebelum memberikan penilaian dan pendapat, karena proses tabayyun terhadap Basuki Tjahaja Purnama belum pernah dilakukan hingga saat ini, telah terjadi penghakiman in absentia dan pengadilan oleh opini publik dan tekanan massa (trial by mob) (6) Karena Pendapat dan Sikap Keagamaan MUI lahir tanpa proses klarifikasi dari Basuki Tjahaja Purnama maka tidak dapat bahkan gagal mengungkapkan secara jelas mengenai adanya niat atau maksud dari pidato Basuki Tjahaja Purnama yang dituduh menistakan agama Islam dan menghina para Ulama, upaya mengungkap adanya niat dan maksud ini yang harusnya dirumuskan secara cermat oleh Jaksa terkait hukum pidana. (7) Ketika menggunakan Pasal 156a terhadap Basuki Tjahaja Purnama, Jaksa Penuntut Umum telah mengabaikan Undang-Undang No.1/PNPS/1965, sebagai ketentuan hukum positif yang masih berlaku dan belum pernah dicabut atau dibatalkan keberlakuannya di Indonesia. Dalam hal ini Jaksa Penuntut Umum mengesampingkan mekanisme yang diatur dalam Undang-Undang No. 1/PNPS/1965 Pasal 2 ayat (1) terhadap seseorang yang diduga melakukan penafsiran yang menyimpang tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia, yaitu prosedur peringatan keras untuk menghentikan perbuatan itu yang dikeluarkan oleh Jaksa Agung, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama. Apabila Basuki Tjahaja Purnama masih juga melanggar peringatan tersebut, barulah kemudian dapat diterapkan ketentuan pidana. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum tanpa memperhatikan dan menjalankan mekanisme peringatan terhadap Basuki Tjahaja Purnama adalah praktik penerapan hukum pidana yang menyesatkan dan wujud nyata dari upaya kriminalisasi. (8) Dalam Tanggapan Jaksa Penuntut Umum (JPU) terhadap Nota Keberatan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan Tim Penasehat Hukumnya, Selasa 20 Desember 2016, Jaksa malah menyalahkan tuntutan Basuki Tjahaja Purnama yang menolak oknum politisi dan Timses kandidat lain yang berkampanye dengan memakai isu SARA dan politisasi ayat, bukan beradu visi misi dan program. Jaksa juga mengatakan bahwa Basuki Tjahaja Purnama merasa benar sendiri karena menuntut kandidat lain agar adu program, bukan mengggunakan Surat Al-Ma’idah 51. Bagi kami, tanggapan Jaksa itu menyesatkan karena dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) harusnya perdebatan dan alasan pemilihan terkait visi, misi dan program para kandidat, bukan permainan isu SARA dan adu ayat. (9) Jika hakim membenarkan dan mengabulkan dakwaan Jaksa atas alasan dan logika di atas, maka akan menjadi jurisprudensi yang membenarkan kampanye dengan mempolitisasi ayat dan SARA, bukan menawarkan visi, misi dan program. Kami sangat menyesalkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) telah kehilangan logika dalam menyampaikan argumen hukumnya, hal ini bukan hanya menunjukkan jaksa tidak profesional, tapi membahayakan “due process of law” dan merupakan preseden buruk pada penegakan hukum yang berkeadilan untuk kasus-kasus yang berdimensi politik pada masa-masa yang akan datang. J

Jakarta, Hari Ibu 22 Desember 2016 
1. Todung Mulya Lubis, Ahli Hukum dan Aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) 2. Hendardi, Ketua Umum Setara Institute 3. Prof. Dr. Sulistyowati Irianto, Akademisi 4. Prof. Mayling Oey, Ph.D, Akademisi 5. Abdullah Alamudi, Akademisi 6. Dr. Neng Dara Affiah, Tokoh Agama, Pengasuh Pesantren di Banten 7. Jim B. Aditya, Akademisi dan Aktifis 8. Henny Supolo, Pegiat Pendidikan untuk Keragaman 9. Andi Syafrani, Praktisi Hukum 10. Mohammad Monib, Aktifis Dialog antar Agama 11. Ruby Khalifah, AMAN Indonesia 12. Nia Syarifuddin, Aliansi Bhinneka Tunggal Ika 13. Pdt. Penrad Siagiaan, Aktifis Kebebasan Beragama 14. Ilma Sovriyanti, Aktifis Perlindungan Anak 15. Thomas Nugraha, Forum Komunikasi Indonesia 16. Tantowi Anwari, Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) 17. Woro Wahyuningtyas, JKLPK Indonesia 18. Bonar Tigor Naipospos, Setara Institute 19. Uli Parulian Sihombing, Warga Negara Indonesia 20. Muannas Alaidid, Praktisi Hukum 21. Cyril Roul Hakim, Aktivis Sosial Narahubung Umi Azalea +6282111531304 www.amsik.id email: amsiknkri@gmail.com twitter: @amsikID.

No comments: