Tangis Ahok Suasana sidang terasa hening. Semua mata dan telinga ikut mendengar suara Ahok yang serak dan terbata. Ahok berhenti bicara, lalu terisak menahan tangis saat menceritakan kisah ayah kandungnya yang bersumpah dengan ayah angkatnya seorang mantan Bupati Bone Andi Baso Amir, seorang muslim taat. Kedua keluarga ini bersumpah bahwa keluarga mereka adalah saudara sampai akhir hayat. Ahok beberapa kali menghentikan ceritanya karena menahan tangis. Tisu beberapa kali diberikan oleh tim penasihat hukumnya. Di luar sana teriakan suara pendemo pakai pengeras suara meneriakkan AHOK KAFIR!! KAFIR!! TANGKAP AHOK!! terdengar menembus dinding ruang sidang pengadilan. Saya yang mengambil siaran langsung juga ikut berkaca kaca menahan sedih atas kondisi Ahok. Saya melihat banyak pengunjung juga ikut menangis. Ruhut Sitompul yang duduk disamping saya juga menangis. Beberapa kali Ia menghapus air matanya dengan sapu tangan. "Bapak Majelis Hakim Yang Mulia..bagaimana mungkin saya menista agama ayah angkat saya? Ayah angkat dan saudara saya yang sangat saya hormati?", ucap Ahok dengan suara serak menahan tangis. Saya melihat kesenduan dari balik badan Ahok yang memunggungi kami. Ia tidak rela dakwaan menista yang ditimpakan kepadanya itu berarti juga menista sumpah setia saudara sehidup semati dengan keluarga angkatnya H. Andi Amir Baso. Ahok..ingin rasanya saya datang dan memelukmu agar engkau tahu...kesedihan dan penderitaan yang kau tanggung juga ikut saya menanggungnya. Tetap tegar dan kuat Koh Ahok...Tuhan menyertaimu. Birgaldo Sinaga
Pakar Jurnalistik berbicara. Assalamu alaikumwa rahmatullahi wa barakatuh. Salam sejahtera buat kita semua. Indonesia sekarang memasuki tahap yang sangat mengkhawatirkan dalam perkembangan hukumnya sejak Negara seolah-olah tidak tampil di saat ia seharusnya hadir, terutama bila kasusnya menyangkut organisasi massa. Peristiwa seperti ini mencolok sekali bila kasusnya menyangkut agama atau agama dibawa-bawa. Kasus yang sangat mencolok adalah ketika Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dituduh menista agama Islam. Pertanyaan tentunya benarkah Ahok menista agama Islam karena mengatakan kepada pendengarnya di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, supaya mereka para nelayan tidak usah merasa tidak enak kalau tidak memilih Ahok karena ditakut-takuti orang pakai Surah Almaidah ayat 51? Ataukah Ahok justru menjadi korban dari perbuatan tidak bertanggung jawab orang bernama Buni Yani? Saya tidak ingin masuk ke soal hukum di sini karena itu bukan bidang saya, tapi saya akan melihatnya deri segi pers/jurnalistik. Harus kita ingat bahwa selama sembilan hari sejak Ahok menyampaikan pidatonya di Pulau Pramuka pada 27 September 2016, tidak ada reaksi dari siapa pun, termasuk anggota DPR, lurah dan pejabat DKI lainnya yang hadir di sana dan mendengar sendiri ucapan Ahok. Kegaduhan baru muncul setelah Buni Yani (mantan?) wartawan, dosen ilmu komunikasi sebuah lembaga pendidikan jurnalistik dan public relations di Jakarta, membuat dan mengedit transkrip pidato Ahok dengan cara membuang kata “pake” dari kalimatnya dan menambah kalimat “apakah ini penistaan agama?” Mari kita lihat apa yang terjadi di sini. Ada satu orang yang menggunakan kepandaian jurnaslistiknya untuk melakukan editing/menyunting, dengan sengaja mengedit kalimat itu, membuang kata “pake” dan menambahkan kalimat tanya yang provokatif dan menimbulkan kemarahan masyarakat pembacanya. Dia lalu meng-upload hasil editingnya dalam transkrip di accountnya tanpa menyebut sumber video yang dia transkrip itu. Dengan kata lain, dalam jurnalisme itu merupakan perbuatan plagiarisme. Di atas segala-galanya, dia melakukan editing itu dengan niat jahat, ada ill intent, dalam istilah hokum, ada mens rea (rencana jahat). Ketika dia menerbitkan editingnya dia sudah melakukan actual malice, yang dalam istilah hukum disebut actus reus perbuatan jahat. Jadi ada niat jahat, ada perbuatan jahat, maka lengkaplah tindakan melakukan kejahatan itu atau perbuatan kriminal dengan segala akibatnya yang memecah belah bangsa. Pertanyaan Anda barangkali adalah dari mana saya bisa mengatakan bahwa Buni Yani ada niat jahat ketika membuat transkrip dan mengedit pidato Ahok. Pengalaman saya selama tiga tahun sebagai Ketua Komisi Pengaduan Masyarakat di Dewan Pers, kalau kita ingin menilai apakah dalam suatu berita ada kesalahan, maka kita harus melihat berita itu secara keseluruhan, dari A sampai Z. Dan dasar penilaian kita adalah Kode Etik Jurnalistik dan Undang-Undang No. 40 thn 1999 tentang Pers atau UU Pers. Dari situ akan segera kelihatan apakah tulisan itu melanggar Pasal 1, 2, 3, 4 dan 5 (pasal-pasal yang paling sering dilanggar) natau pasal lainnya dari Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Mari kita lihat video pidato Ahok di Pulau Pramuka pada 27 September 2016 yang jadi sumber kontroversi itu. Video itu durasinya satu jam 40 menit. Sebagai jurnalis klita melihat beberapa elemen penting untuk dijadikan berita, yaitu: Program perbaikan ekonomi nelayan dengan pembagian keuntungan 80:20 persen; → 10 persen akan dikembalikan ke koperasi untuk pembangunan prasarana; →program sudah berjalan sejak 2015. Jawaban Ahok kepada seorang ibu tentang kelanjutan program itu bila kelak Ahok tidak terpilih sebagai gubernur → Tetap jabat gubernur sampai Oktober 2017 →Al-Maidah 51; Dialog Ahok dengan nelayan soal kerja keras dan naik haji/umroh → “kebijakan hablun minallah wa hablun minannas.” Kalau Anda atau saya menulis berita kunjungan Ahok ke Kepulauan Seribu, mungkin sekali yang kita angkat sebagai lead adalah, misalnya: “Ahok menawarkan program bagi hasil 80:20 kepada nelayan Kepulauan Seribu untuk mengangkat mereka keluar dari kemiskinan.” Atau: “Ahok jamin program bagi hasil dengan nelayan Kepulauan Seribu jalan terus walau tidak terpilih lagi karena masa kerjanya masih sampai Oktober 2017. “ Atau “Ahok yakinkan nelayan Kepulauan Seribu tak usah takut tidak memilih dia jika khawatir berdosa melanggar Al-Maidah 51.” Atau, kalau Anda ingin mengangkat kebijakan Ahok yang islami, Anda menulis: “Ahok: Kebijakan saya mengikuti ‘Hablun minallah wa hablun minannas’.” Tetapi, karena di dalam kepalanya sudah ada rencana jahat, ada ill intent, maka Buni Yani, dengan pengetahuannya sebagai wartawan, dia mengedit kalimat Ahok sedemikian rupa sehingga kalimat yang telah diedit itu menghasilkan makna berbeda atau bertentangan dengan kalimat aslinya. Dengan kata lain, dia mengedit kalimat/ucapan Ahok dengan niat jahat (actual malice). Kita semua, sebagai wartawan, tahu tentang fungsi editing. Apa lagi dia sebagai dosen ilmu komunikasi pula, dia tentu tahu, bagaiamana dampak negatif suatu berita yang dioleh dengan niat jahat. Kita semua tahu bahwa fungsi editing adalah untuk: Menjamin akurasi (kecermatan) berita Membuang kata-kata yang tidak penting (hemat kata/economic of words) Memperbaiki/menghaluskan bahasa Memperbaiki inkonsistensi Membuang “libelous statetments” (penyataan/kata-kata yang bersifat menghina) Membuang kalimat/paragraf yang mengadung kata-kata buruk (poor state) Menjamin bahwa berita itu dipahami (readable) dan lengkap. Membuat berita itu mengikuti gaya penulisan media bersangkutan Tapi, Buni Yani, dengan sengaja menlanggar prinsip/fungsi editing (editing function) itu supaya tujuannya untuk mendiskreditkan Ahok tercapai, yaitu dengan secara sadar dan sengaja membuang kata “pakai” dari kalimat asli Ahok, yang berbunyi: “Jangan percaya sama orang … dibohongin pakai surat al-Maidah 51.” Dengan mengedit (membuang) kata “pakai” dari kalimat itu, maka kalimat Ahok menjadi “…dibohongin surat al-Maidah.” Kalimat yang telah diedit itu lantas bermakna Surat Al Maidah 51 itu bohong. Inilah bukti bahwa Buni Yani dengan sengaja mengedit kalimat yang diucapkan Ahok itu demikian rupa karena dia ada niat jahat, ada actual malice. Contoh: Seorang ulama mengatakan, “Budak pun tidak boleh diperkosa.” Kalau seseorang mengedit kalimat itu dengan niat jahat, maka dia akan membuang kata “tidak” dari kalimat itu. Sehingga, kalimat yang sudah diedit itu akan berbunyi, “Budak pun boleh diperkosa.” Makna dari kalimat yang sudah diedit itu jelas sangat berbeda bahkan bertentangan dengan kalimat aslinya. Kita lihat sekarang beberapa akibat dari perbuatannya itu: – Berapa banyak energi bangsa ini yang habis terkuras akibat perbuatan actual malice-nya Buni Yani? – Berapa milyar pemerintah harus keluarkan untuk polisi dan militer menjaga keamanan selama dua hari demonstrasi besar pada 2/11 dan 4/12? – Berapa juta jam kerja produktif yang hilang? – Friends jadi undfriends? – Bangsa ini terpecah karena perbuatannya. Keluarga terpecah karena selisih faham; Bahkan ulama terpecah. Malah ada ulama yang begitu benci pada Ahok sehingga dia mengatakan, “kita tunggu saja dua minggu ini. Kalau Ahok tidak ditangkap, ya, Presidennya kita turunkan.” – Dan Ahok, yang sama sekali tidak berbuat satu kesalahan pun, tidak pernah menyebut kata “ulama” selama pidatonya di Kepulauan Seribu, terpaksa menghadapi meja hijau. – Ini semua terjadi karena perbuatan satu orang yang dengan niat jahatnya, menggunakan keahlian jurnalistiknya telah melakukan actual malice. Perpecahan itu semakin terasa sekarang karena adanya sekelompok masyarakat yang berusaha memaksakan kemauannya, meletakkan hukum di dalam tangannya, mengambil alih fungsi penegak hukum. Saya khawatir, mereka ini salah menafsirkan kebijakan akomodatif yang ditempuh Kapolri Tito Karnavian dan Panglima TNI Gatot sebagai kelemahan Pemerintah. Saya pikir, sekarang sudah waktunya aparat pemerintah–Polisi dan TNI—mengatakan: Stop! Enough is enough. Cukup sampai di sini, sebelum terjadi bentrokan horizontal. Dan ini semua terjadi karena seorang Buni Yani menggunakan kepandaian jurnalistiknya untuk melakukan perbuatan jahat, actual malice. Sehingga berita itu menjadi: – Tidak akurat, tidak berimbang dan beniat buruk (melanggar Pasal 1 KEJ); – Dia menemapuh cara-cara yang tidak professional (mengedit dan menambahkan opini –melanggar Pasal 2 KEJ) – Mencampurkan fakta dan opiini (kalimat “Apa ini merupakan penistaan agama?” –Melanggar Pasal 3 KEJ) – Menampilkan berita yang bersifat fitnah (Melanggar Pasal 4 KEJ). Seandainya Buni Yani ada niat baik, dia mengangkat lead yang menampilkan pendekatan islami Ahok dalam kebijakannya yang “hablun minallah wa hablun minannas” mungki sekali semua kiyai, semua ulama, semua habib dan habaib akan mengangkat tangan mereka dan berdoa, “Ya, Allah, Ahok sudah melakukan perintahmu, maka turunkanlah hidayahMu kepadanya supaya dia segera masuk Islam. Amiiin.” Dari paparan ini, saya ingin sekali mengatakan bahwa kita telah melihat bahwa dengan menyeret Ahok ke meja hijau sebenarnya Negara, dalam hal ini polisi, sudah salah mempidana orang error in persona tapi saya tidak mau masuk ke bidang hukum karena itu bukan bidang saya. Saya hanya bisa mengatakan Ahok is a victim of an actual malice story. Ahok adalah korban dari berita yang dibuat dengan niat jahat. Terima kasih. Wa billahittaufiq wal huidayah. Wassalamu alaikum warahmatullahi wa barakatuh. Abdullah Alamudi Dosen Jurnalistik di Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS), Akademisi Televisi Indonesia dan Mantan Ketua Komisi Pengaduan Masyarakat di Dewan Pers Bahan ini disampaikan di Konferensi Pers Aliansi Masyarakat Sipil untuk Konsitusi (AMSIK), Kamis, 22 Desember 2016. 🙏🙏🙏
Ahok Menangis Saat Membacakan Nota Keberatan - Sidang Perdana 13 des 2016
Nota Keberatan Ir Basuki Tjahaja Purnama M.M
Bapak Ketua Majelis Hakim, dan Anggota Majelis Hakim yang saya muliakan, Sdr. Jaksa Penuntut Umum yang saya hormati, Penasihat Hukum dan Para Hadirin yang saya hormati, Pertama-tama saya ingin menyampaikan terima kasih kepada Majelis Hakim atas kesempatan, yang diberikan kepada Saya. Berkaitan dengan persoalan yang terjadi saat ini, dimana saya diajukan di hadapan sidang, jelas apa yang saya utarakan di Kepulauan Seribu, bukan dimaksudkan untuk menafsirkan Surat Al-Maidah 51 apalagi berniat menista agama Islam, dan juga berniat untuk menghina para Ulama. Namun ucapan itu, saya maksudkan, untuk para oknum politisi, yang memanfaatkan Surat Al-Maidah 51, secara tidak benar karena tidak mau bersaing secara sehat dalam persaingan Pilkada. Ada pandangan yang mengatakan, bahwa hanya orang tersebut dan Tuhan lah, yang mengetahui apa yang menjadi niat pada saat orang tersebut mengatakan atau melakukan sesuatu. Dalam kesempatan ini di dalam sidang yang sangat Mulia ini, saya ingin menjelaskan apa yang menjadi niat saya pada saat saya berbicara di Kepulauan Seribu tersebut. Dalam hal ini, bisa jadi tutur bahasa saya, yang bisa memberikan persepsi, atau tafsiran yang tidak sesuai dengan apa yang saya niatkan, atau dengan apa yang saya maksudkan pada saat saya berbicara di Kepulauan Seribu. Majelis Hakim yang saya muliakan. Ijinkan saya untuk membacakan salah satu Sub-judul dari buku saya, yang berjudul “Berlindung Dibalik ayat suci” ditulis pada tahun 2008. Saya harap dengan membaca tulisan di buku tersebut, niat saya yang sesungguhnya bisa dipahami dengan lebih jelas, isinya sebagai berikut, saya kutip : Selama karir politik saya dari mendaftarkan diri menjadi anggota partai baru, menjadi ketua cabang, melakukan verifikasi, sampai mengikuti Pemilu, kampanye pemilihan Bupati, bahkan sampai Gubernur, ada ayat yang sama yang saya begitu kenal digunakan untuk memecah belah rakyat, dengan tujuan memuluskan jalan meraih puncak kekuasaan oleh oknum yang kerasukan “roh kolonialisme”. Ayat ini sengaja disebarkan oleh oknum-oknum elit, karena tidak bisa bersaing dengan visi misi program, dan integritas pribadinya. Mereka berusaha berlindung dibalik ayat-ayat suci itu, agar rakyat dengan konsep “seiman” memilihnya. Dari oknum elit yang berlindung dibalik ayat suci agama Islam, mereka menggunakan surat Almaidah 51. Isinya, melarang rakyat, menjadikan kaum Nasrani dan Yahudi menjadi pemimpin mereka, dengan tambahan, jangan pernah memilih kafir menjadi pemimpin. Intinya, mereka mengajak agar memilih pemimpin dari kaum yang seiman. Padahal, setelah saya tanyakan kepada teman-teman, ternyata ayat ini diturunkan pada saat adanya orang-orang muslim yang ingin membunuh Nabi besar Muhammad, dengan cara membuat koalisi dengan kelompok Nasrani dan Yahudi di tempat itu. Jadi, jelas, bukan dalam rangka memilih kepala pemerintahan, karena di NKRI, kepala pemerintahan, bukanlah kepala agama/Imam kepala. Bagaimana dengan oknum elit yang berlindung, dibalik ayat suci agama Kristen? Mereka menggunakan ayat disurat Galatia 6:10. Isinya, selama kita masih ada kesempatan, marilah kita berbuat baik kepada semua orang, tetapi terutama kepada kawan-kawan kita seiman. Saya tidak tahu apa yang digunakan oknum elit di Bali yang beragama Hindu, atau yang beragama Budha. Tetapi saya berkeyakinan, intinya, pasti, jangan memilih yang beragama lain atau suku lain atau golongan lain, apalagi yang ras nya lain. Intinya, pilihlah yang seiman/sesama kita (suku, agama, ras, dan antar golongan). Mungkin, ada yang lebih kasar lagi, pilihlah yang sesama kita manusia, yang lain bukan, karena dianggap kafir, atau najis, atau binatang! Karena kondisi banyaknya oknum elit yang pengecut, dan tidak bisa menang dalam pesta demokrasi, dan akhirnya mengandalkan hitungan suara berdasarkan se-SARA tadi, maka betapa banyaknya, sumber daya manusia dan ekonomi yang kita sia-siakan. Seorang putra terbaik bersuku Padang dan Batak Islam, tidak mungkin menjadi pemimpin di Sulawesi. Apalagi di Papua. Hal yang sama, seorang Papua, tidak mungkin menjadi pemimpin di Aceh atau Padang. Kondisi inilah yang memicu kita, tidak mendapatkan pemimpin yang terbaik dari yang terbaik. Melainkan kita mendapatkan yang buruk, dari yang terburuk, karena rakyat pemilih memang diarahkan, diajari, dihasut, untuk memilih yang se-SARA saja. Singkatnya, hanya memilih yang seiman (kasarnya yang sesama manusia). Demikian kutipan dari buku yang saya tulis tersebut. Majelis Hakim yang saya muliakan. Dalam kehidupan pribadi, saya banyak berinteraksi dengan teman-teman saya yang beragama Islam, termasuk dengan keluarga angkat saya Almarhum Haji Andi Baso Amier yang merupakan keluarga muslim yang taat. Selain belajar dari keluarga angkat saya, saya juga belajar dari guru-guru saya, yang taat beragama Islam dari kelas 1 SD Negeri, sampai dengan kelas 3 SMP Negeri. sehingga sejak kecil sampai saat sekarang, saya tahu harus menghormati Ayat-Ayat suci Alquran. Jadi saya tidak habis pikir, mengapa saya bisa dituduh sebagai penista Agama Islam. Saya lahir dari pasangan keluarga non-muslim, Bapak Indra Tjahaja Purnama dan Ibu Buniarti Ningsih (Tjoeng Kim Nam dan Bun Nen Caw), tetapi saya juga diangkat sebagai anak, oleh keluarga Islam asal Bugis, bernama Bapak Haji Andi Baso Amier , dan Ibu Hajjah Misribu binti Acca. Ayah angkat saya, Andi Baso Amier adalah mantan Bupati Bone, tahun 1967 sampai tahun 1970, beliau adik kandung mantan Panglima ABRI, Almarhum Jenderal TNI (Purn.) Muhammad Jusuf. Ayah saya dengan ayah angkat saya, bersumpah untuk menjadi saudara sampai akhir hayatnya. Kecintaan kedua orangtua angkat saya kepada saya, sangat berbekas, pada diri saya, sampai dengan hari ini. Bahkan uang pertama masuk kuliah S2 saya di Prasetya Mulya, dibayar oleh kakak angkat saya, Haji Analta Amir. Saya seperti orang yang tidak tahu berterima kasih, apabila saya tidak menghargai agama dan kitab suci orang tua dan kakak angkat saya yang Islamnya sangat taat. Saya sangat sedih, saya dituduh menista agama Islam, karena tuduhan itu, sama saja dengan mengatakan saya menista orang tua angkat dan saudara-saudara angkat saya sendiri, yang sangat saya sayangi, dan juga sangat sayang kepada saya. Itu sebabnya ketika Ibu angkat saya meninggal, saya ikut seperti anak kandung, mengantar dan mengangkat keranda beliau, dari ambulans sampai ke pinggir liang lahat, tempat peristirahatan terakhirnya, di Taman Pemakaman umum Karet Bivak. Sampai sekarang, saya rutin berziarah ke makam Ibu angkat, di Karet Bivak. Bahkan saya tidak mengenakan sepatu atau sendal saat berziarah, untuk menghargai keyakinan dan tradisi orang tua dan saudara angkat saya itu. Yang membuat saya juga selalu mengingat almarhumah Ibu angkat saya, adalah peristiwa, pada saat saya maju, sebagai calon wakil Gubernur DKI Jakarta tahun 2012. Pada hari pencoblosan, walaupun Ibu angkat saya, sedang sakit berat dalam perjalanan ke rumah sakit, dengan menggunakan mobil kakak angkat saya Haji Analta, ibu angkat saya, sengaja, meminta mendatangi tempat pemungutan suara untuk memilih saya. Padahal kondisinya sudah begitu kritis. Dari tempat pemungutan suara, barulah beliau langsung, menuju ke rumah sakit, untuk perawatan lebih lanjut di ICU. Setelah dirawat selama 6 (enam) hari, Ibu berdoa dan berkata kepada saya dan masih terus saya ingat dan masih akan saya ingat, kata beliau: “SAYA TIDAK RELA MATI, SEBELUM KAMU MENJADI GUBERNUR. ANAKKU, JADILAH GUBERNUR YANG MELAYANI RAKYAT KECIL.” Ternyata Tuhan mengabulkan doa Ibu angkat saya. Beliau berpulang tanggal 16 Oktober 2014, setelah ada kepastian Bapak Jokowi menjadi Presiden, dan saya juga sudah dipastikan menjadi Gubernur, menggantikan Bapak Jokowi. Pesan dari Ibu angkat saya selalu saya camkan , dalam menjalankan tugas saya, sebagai Gubernur DKI Jakarta. Majelis Hakim yang saya muliakan. Sebelum menjadi pejabat, secara pribadi, saya sudah sering menyumbang untuk pembangunan mesjid di Belitung Timur, dan kebiasaan ini, tetap saya teruskan saat saya menjabat sebagai Anggota DPRD Tingkat II Belitung Timur, dan kemudian sebagai Bupati Belitung Timur. Saya sudah menerapkan banyak program membangun Masjid, Mushollah dan Surau, dan bahkan merencanakan membangun Pesantren, dengan beberapa Kyai dari Jawa Timur. Saya pun menyisihkan penghasilan saya, sejak menjadi pejabat publik minimal 2,5% untuk disedekahkan yang di dalam Islam, dikenal sebagai pembayaran Zakat, termasuk menyerahkan hewan Qurban atau bantuan daging di Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha. Saya juga mengeluarkan kebijakan-kebijakan, termasuk untuk menggaji guru-guru mengaji, dan menghajikan Penjaga Masjid/Musholla (Marbot atau Muadzin) dan Penjaga Makam. Hal-hal yang telah saya lakukan di Belitung Timur, saat menjabat sebagai Bupati, saya teruskan ketika tidak menjadi Bupati lagi, sampai menjadi anggota DPR RI daerah pemilihan (dapil) Bangka Belitung, sebagai Wakil Gubernur dan juga, sebagai Gubernur DKI Jakarta saat ini pun tetap saya lakukan. Ketika menjadi Gubernur DKI Jakarta, saya juga membuat banyak kebijakan, diantaranya kebijakan agar di bulan Suci Ramadhan, para PNS dan honorer, bisa pulang lebih awal, dari aturan lama jam 15.00 WIB saya ubah menjadi jam 14.00 WIB, agar umat Muslim dapat berbuka puasa bersama keluarga di rumah, sholat magrib berjamaah, dan bisa tarawih bersama keluarganya. Saya juga ingin melihat Balaikota mempunyai Masjid yang megah untuk PNS, sehingga bisa melaksanakan ibadahnya, ketika bekerja di Balaikota. Karena itu, Pemda membangun Masjid Fatahillah di Balaikota. Di semua rumah susun (rusun) yang dibangun PEMDA, juga dibangun Masjid. Bahkan di Daan Mogot, salah satu rusun yang terbesar, kami telah membangun Masjid besar, dengan bangunan seluas 20.000 m2, agar mampu menampung seluruh umat muslim yang tinggal di rusun Daan Mogot. Kami jadikan masjid tersebut sebagai salah satu Masjid Raya di Jakarta. Kami akan terus, membangun Masjid Raya/besar, di setiap rusun, kami akan terus membantu perluasan Masjid yang ada, dengan cara PEMDA akan membeli lahan yang ada di sekitar Masjid, sebagaimana beberapa kali telah saya sampaikan dalam pertemuan-pertemuan dengan tokoh-tokoh Islam maupun Pengurus Dewan Masjid Indonesia di Balaikota. Para Marbot dan penjaga makam juga PEMDA Umrohkan. Kami juga membuat kebijakan bagi PNS, menjadi pendamping Haji kloter DKI Jakarta. Saya berharap bisa melaksanakan amanah orang tua dan orang tua angkat saya untuk melanjutkan tugas saya sebagai Gubernur di periode yang akan datang, sehingga cita-cita saya untuk memakmurkan umat Islam di Jakarta dapat terwujud. Majelis Hakim yang saya muliakan. Saya berani mencalonkan diri sebagai Gubernur, sesuai dengan amanah yang saya terima dari almarhum Gus Dur, bahwa Gubernur itu bukan pemimpin tetapi pembantu atau pelayan masyarakat. Itu sebabnya, dalam pidato saya setelah pidato almarhum Gus Dur pada tahun 2007, saya juga mengatakan bahwa menjadi calon Gubernur, sebetulnya saya melamar untuk menjadi pembantu atau pelayan rakyat. Apalagi, saya melihat adanya fakta, bahwa ada cukup banyak partai berbasis Islam, seperti di Kalimantan Barat, Maluku Utara, dan Solo juga mendukung calon Gubernur, Bupati, Walikota non-Islam di daerahnya. Untuk itu, saya mohon ijin kepada Majelis Hakim, untuk memutar video Gus Dur yang meminta masyarakat memilih Ahok sebagai Gubernur saat Pilkada Bangka Belitung tahun 2007, yang berdurasi sekitar 9 (Sembilan) menit. Majelis Hakim yang saya muliakan. Saya ini hasil didikan orang tua saya, orang tua angkat saya, Ulama Islam di lingkungan saya, termasuk Ulama Besar yang sangat saya hormati, yaitu Almarhum Kyai Haji Abdurahman Wahid. Yang selalu berpesan, menjadi pejabat publik sejatinya adalah menjadi pelayan masyarakat. Sebagai pribadi yang tumbuh besar di lingkungan umat Islam, tidaklah mungkin saya mempunyai niat untuk melakukan penistaan Agama Islam dan menghina para Ulama, karena sama saja, saya tidak menghargai, orang-orang yang saya hormati dan saya sangat sayangi. Majelis Hakim yang saya muliakan. Apa yang saya sampaikan di atas, adalah kenyataan yang sungguh-sungguh terjadi. Dan saya juga berharap penjelasan saya ini, bisa membuktikan tidak ada niat saya, untuk melakukan penistaan terhadap Umat Islam, dan penghinaan terhadap para Ulama. Atas dasar hal tersebut, bersama ini saya mohon, agar Majelis Hakim yang Mulia, dapat mempertimbangkan Nota Keberatan saya ini, dan selanjutnya memutuskan, menyatakan dakwaan Saudara Jaksa Penuntut Umum tidak dapat diterima, atau batal demi hukum. sehingga saya dapat kembali, melayani warga Jakarta dan membangun kota Jakarta. Majelis Hakim yang Mulia, terima kasih atas perhatiannya. Kepada Jaksa Penuntut Umum, serta Penasehat Hukum, saya juga ucapkan terima kasih. Jakarta, 13 Desember 2016 Hormat saya, Basuki Tjahaja Purnama
No comments:
Post a Comment